“Aku berusaha, tapi maaf… Aku tak bisa”
Dan Klik. Telepon ditutup!
Ini pembicaraan kesekian kita yang pada akhirnya berujung sama -kau mematikan telepon dan menonaktifkannya selama berhari-hari. Aku mulai terbiasa dengan ini, meskipun kuakui, ini benar-benar tak seperti yang kuharapkan.
Pernahkah sedikit saja. Sekali saja. Kau memikirkan tentang ini, sayang? Maksudku… Ahh, lupakanlah tentang aku dan segala usahaku itu. Tak usah diungkit lagi, seberapa sering aku mengalah untukmu. Akan tetapi tentang satu pertanyaan yang begitu ingin kutanyakan tapi selalu hilang diberangus ketakutan. Seperti apa aku untukmu?
Seperti apa aku untukmu?
Untuk kecil hatimu yang kuharap akan memasang aku sebagai cinta sejatimu. Benarkah aku penting untukmu? Benarkah aku special di matamu? Jika ya, mengapa tak juga terketuk hatimu Cinta, sekedar untuk melayangkan peneriamaanmu atas permohonan maafku?
Aku hanya berharap maaf darimu. Sederhana, bukan? Hanya maaf, tak lebih. Apa itu sulit?
Aku tidak akan memintamu untuk mengkalkulasikan rindu atau bahkan setumpuk usahaku untuk mengetuk hatimu. Juga tidak akan berani untuk bertaruh hingga kapan bara amarah akan bersarang dalam benakmu. Tapi aku tidak setabah di bayanganmu, untuk bertahan diterjang rindu seperti sekarang ini, kau tau? itu sungguh luar biasa bagiku.
Rindu ini, bukan yang lain. aku merindukanmu, sangat merindukanmu. dan hanya tawa itu yang mampu menghapus segalanya. Dari semua ketakutan dan pengandaian, kehadiranmulah yang kuharap untuk jadi akhir dari segalanya. Sederhana, kan? Ya… begitulah aku mencintaimu.
Aku meremas ponsel separuh kesal. Menggeleng tak paham. Bukan untukmu. Bukan karena kerasnya hatimu. Akan tetapi karena ketololanku. yang bahkan hingga bertahun-tahun mengenalmu tapi tak juga bisa melakukan sesuatu agar reda amarahmu. Untuk segala keterbatasan itulah. Aku ingin sejenak mengalihkan diri berlalu dan menghilang dari permukaan bumi.
Sekali saja, sayang. Dengarkan aku, sekali saja…!!
Aku menunggu di balik jendela,
Berharap hatimu terbuka.
Aku menanti ditemani resah,
Berharap hatimu menjamah serakan luka dalam jiwa.
Aku menanti di balik jendela,
Tengoklah…
Seminggu. Dua minggu. Sebulan. Dua bulan. Aku berakhir dalam ketidakpastian. Aku melamur dalam diam. Sakit yang kuterima mungkin tak akan sepadan dengan salah yang kuperbuat tapi tak cukupkah cinta sebagai alasan untuk mengampuninya?
***
Rumah sakit.
Aku tidak sekuat itu. Kau tau, kesabaran ini ternyata butuh kesanggupan yang berlebihan menurutku. Dan seperti yang kau tau, mungkin aku terlalu tidak siap untuk itu. Sakit yang mendera fisikku, mungkin tidaklah sebanding dengan gundah dalam hatiku. Dan kamu adalah obat yang kutunggu untuk itu. Bisakah kau datang demiku?
Mataku separuh terbuka saat dokter dan perawat menyuntikkan sesuatu ke dalam botol infus, sedetik kemudian aku meringis, perih rasanya. Aku ingin protes, merengek pada dokter untuk tidak melakukannya lagi, tapi keburu kesadaranku menghilang. Dan mimpi tentangmu meraihku cepat.
“Buka Matamu Keira… Ini aku Fathan”
Aku mengedengus, mimpi itu lagi. Berkali-kali dalam tidurku aku memimpikan hal yang sama. Kamu. Kamu. Aku kesal. Semakin kesal setiap kali tersadar, semuanya memang hanya akan terjadi dalam mimpi. Aku ingin sejenak mengalihkan diri berlalu dan menghilang dari permukaan mimpi.
Tapi tidak, kali ini berbeda. Sesaat berikutnya, ada yang menitik di pipiku. Bukan air mataku. Tapi dari seseorang di luar sana. Seseorang dari alam nyata yang sepertinya menanggung sedih melihat keadaanku. Kamukah itu?
“Buka Matamu Keira… demi Tuhan, buka matamu”
Air matanya jatuh lagi, kali ini membasuh punggung tanganku. aku ingin membuka mata, tapi berat rasanya. kesadaran itu sangat sulit kudapatkan. aku berkelahi dengan ketahanan tubuhku sebelum akhirnya berhasil merebutnya kembali saat membuka mata.
Dan itu benar-benar kamu!
“Maafkan aku, Kei. Maafkan aku, untuk semua pesan yang tak pernah kubalas. Untuk semua panggilan yang terabaikan. Untuk kehadiranmu yang selalu ketepikan. Aku mencintai kamu. Hanya setiap maaf yang kamu katakan selalu menyesakkan bagiku. itu mendampratku, bahwa aku tak pernah berhasil membimbingmu!” ia kembali menangis. Genggaman tangannya yang menguat membuatku tau ini bukan sekedar mimpi.
“Jangan pergi” kataku. Itu satu-satunya kata yang kini terpikir di antara sadar dan igauku
Ia mendanga. menatapku tak percaya, takzim melihatku siuman. Lalu membalas dengan senyuman.
“Jangan pergi lagi” Ulangku.
Ia mengangguk, dan kuanggap itu sebagai janji. janji yang kuharap tak akan pernah lagi membawanya pada ketakacuhan setiap kali kami terlibat pertengkaran.
Ia mengangguk. Kusambut dengan seulas senyum yang kukembangkan dengan susah payah. Untuk saat ini, memang hanya itu yang bisa kulakukan.
(Tamat)
Penulis : Naurah Senja
Makassar, 16 Agustus 2012