Tidak bisa dipungkiri bahwa pengaruh suksesi DKI Jakarta berimbas langsung pada kondisi kebangsaan kita. Isu Pluralisme menjadi bola panas yang terus digelindingkan hingga menyentuh pita Bhinneka Tunggal Ika yang digenggam oleh Garuda kita. Hal ini kemudian menggiring kerinduan banyak orang pada Pancasila yang sebenarnya sudah puluhan tahun direnggut dari nilai- nilai yang sebenarnya seperti yang dibahasakan langsung oleh Bung Karno sebagai sosialisme Indonesia, sosialisme yang berbeda dengan Sosialisme yang ada di Eropa atau di Uni Sovyet. Dalam sebuah pidato yang kelak terkenal sebagai pidato tentang lahirnya Pancasila, Bung Karno menyatakan bahwa Pancasila bisa diringkas menjadi Trisila: Sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, dan Ketuhanan. Apa maksudnya?
Sosio nasionalisme
Sosio-nasionalisme adalah nasionalisme yang menginginkan keselamatan segenap rakyat dan persaudaraan umat manusia. Bung Karno tidak menghendaki bangsa Indonesia berpangku tangan melihat perdamaian dunia terancam karena kolonialisme dan imperialisme, yang tak lain dari kepanjangan tangan kaum kapitalis. Bangsa Indonesia harus menentang kolonialisme dan imperialisme. Bangsa Indonesia harus aktif memupuk persaudaraan umat manusia dan menggalang persatuan bangsa-bangsa untuk melenyapkan kolonialisme dan imperialisme dan karena itu beliau menyebutnya juga Internasionalisme.
Sosio Demokrasi
Menurut Bung Karno, Sosio Demokrasi adalah demokrasi yang menghendaki kedaulatan rakyat dikedua bidang politik maupun di bidang ekonomi. Menurut Bung Karno, sosio-demokrasi adalah demokrasi yang menghendaki kedaulatan (kekuasaan) rakyat baik di bidang politik maupun di bidang ekonomi. Demokrasi politik dan demokrasi ekonomi, itulah sosio-demokrasi.
Rakyat harus memiliki negerinya sendiri! Itu berarti Rakyat harus mendirikan sebuah negara yang memiliki karakter tertentu. Karakter apa? Karakter kerakyatan Maksudnya, Negara yang dikuasai dan dikelola oleh Rakyat untuk memenuhi kebutuhan Rakyat.
Dalam sistem ekonomi Kapitalisme, Rakyat mengalami penghisapan dan penindasan. Mereka tidak berkuasa atas hasil kerja mereka. Mereka tidak menerima pendapatan sebanding dengan hasil kerja mereka. Mengapa? Sebab watak dari sistem ekonomi Kapitalisme adalah eksploitasi atau penghisapan manusia oleh manusia! Kapitalisme mengambil hasil kerja Rakyat lalu sebagai pemilik modal , mereka menumpuknya dalam pundi-pundi mereka. Karena itu, semakin keras kerja yang dilakukan oleh rakyat, mereka justru semakin tidak sejahtera. Mereka justru semakin melarat.
Janji Trickle down effect semakin jauh panggang dari api. Yang menetes bukannya kesejahteraan, akan tetapi kesengsaraan yang timbul akibat eksploitasi yang membabi buta pada manusia dan alam tempat manusia menggantungkan hidupnya. Apakah Pancasila kita cocok untuk menginternalisasikan nilai- nilai kapitalisme dalam bernegara? Jawabannya jelas sangat tidak cocok. karena Pancasila itu berwatak Sosio-demokrasi dan Sosio-nasionalisme, maka Pancasila bertentangan dengan sistem ekonomi Kapitalisme dan Negara Kapitalis.
Dimensi Ketuhanan Yang Maha Esa
Dari dimensi ini, Bung Karno dengan Pancasila-nya dengan tegas menarik garis batas antara paham sosialisme yang lain yang menolak eksistensi non-materi (baca Tuhan), sekaligus menjadi bingkai keberagaman yang ada di Indonesia. Ini sejalan dengan konsep yang ditawarkan oleh seorang sosilog sekaligus arsitek revolusi Iran Ali Syariati bahwa perbedaan antara masyarakat Komunis yang dicita- citakan oleh Marx sebagai masyarakat tanpa kelas yang menghapus segala bentuk kepemilikan sangat mirip (bukan berarti sama) dengan apa yang ada dalam Islam yang oleh Syariati sebut sebagai masyarakat tauhidi. Sebuah tatanan masyarakat yang menjiwai seluruh nilai keIslamannya yang bermuara pada pengakuan ketiadaan kepemilikan oleh manusia bahkan atas dirinya sekalipun. Sebab apa yang dipakai, gunakan dan makan hanyalah bentuk pinjaman fasilitas yang disiapkan Allah untuk meneguhkan penghambaannya. Hanya Allah-lah yang memiliki segala yang ada dilangit dan dibumi.
Ketika disebutkan, “langit, bumi, di antara keduanya dan di bawah perut bumi adalah kepunyaan Allah”, maka dimaknakan bahwa semuanya itu adalah milik rakyat, bukan milik perorangan. Selanjutnya, bila dikatakan, “Segala sesuatu akan kembali kepada Allah”, maka itu dimaksudkan bahwa keseluruhan manfaat dari kekayaan alam diperuntukkan bagi kemakmuran dan harus kembali kepada rakyat bukan hanya dinikmati kelompok tertentu. Kelugasan dan kesederhanaan penjelasan Syariati membuat seorang satrawan ateis sekaliber Jean Paul Sartre pernah berkata “Saya tidak memiliki agama, namun jika harus memilih salah satu, kupilih agamanya Syariati”.
Menolak Lupa, sekali lagi.
Kita telah paham cita dan nilai dalam Pancasila sangat baik dan tidak bertentangan dengan agama apapun. Dan kini beberapa minggu terakhir, munculnya demam Pancasila tentu menggembirakan bagi kita yang rindu akan kokohnya identitas bernegara kita kembali. Setelah sekian lama tergerus oleh kepentingan- kepentingan sisipan dari luar yang coba disuntikkan masuk kedalam roh Pancasila kita. Semakin condongnya kemudi kearah liberalisasi segala lini berbangsa mulai dari pendidikan, politik sampai ke ekonomi, membuat memontum ber-Pancasila tahun ini bagai angin segar masa depan Indonesia. Yang menandakan bahwa rakyat sangat cinta pada negaranya sekaligus dengan harapan terwujudnya cita- cita bangsa yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945. Semangat ber-Pancasila ini tentu bukan tidak memiliki tantangan.
Salah satu tantangannya adalah Proses demokratisasi di Indonesia yang masih kanak-kanak dengan kekuatan pendukungnya yang masih lemah akhirnya di bajak oleh kekuatan elit baru yang kebanyakan adalah pemodal. Proses demokratisasi yang tidak konsisten ini tidak memberikan penghargaaan politik yang kuat pada partisipasi politik rakyat. Rakyat hanya menjadi obyek dan justru mengalami depolitisasi.
Tantangan yang lainnya adalah pengalaman rakyat Indonesia selama 32 tahun dibawah bayang- bayang Orde Baru yang menjadikan Pancasila sebagai mesin jagal bagi kekuatan- kekuatan kritis. Membuat kita yang pernah mengalami tindakan refresif pemberlakuan Azas Tunggal Pancasila sedikit berpikir dan mengingat kembali ancaman itu. jika tidak dikawal dengan baik, maka tidak menutup kemungkinan masa gelap demokrasi yang sudah susah payah diwujudkan lewat gerbong reformasi akan berulang dan memporak porandakan bangunan demokrasi kita saat ini. Tentu kita tidak ingin suara kritik kembali dibungkam dengan senjata, pers yang dianggap berbeda haluan dibredel dimana- mana, dan kebebasan berekspresi dan berkesenian dikendalikan sesuai selera seni penguasa. Ini terjadi karena adanya interpretasi tunggal atas Pancasila oleh penguasa (bukan dari konsep pencetusnya) disertai dengan pemaksaan mengamalkan nilai- nilai tersebut. Penafsiran yang di monopoli oleh penguasa semacam ini akan memisahkan akar historis pancasila sebagai hasil penggalian founding father atas semua nilai-nilai idelogis yang mendukung revolusi nasional.
Dan yang tantangan yang terakhir adalah ramainya serbuan budaya dan nilai-nilai ideologis asing terhadap kehidupan ekonomi, politik dan budaya rakyat Indonesia. Di tengah proses serbuan dan tantangan tersebut, sudah selayaknya pemahaman nilai-nilai pancasila seperti yang pernah di perlihatkan founding fathernya harus di galakkan. Pancasila tidak bisa lagi hanya di tempatkan dalam diskursus kepentingan ideologis negara dan partai politik, tetapi seharusnya pancasila menjadi bagian dalam ritme perdebatan ideologi nasional. Sehingga tanpa ini, maka mustahil pancasila kembali pada aras berpikirnya. Dan yang harus melakukannya adalah kita, sebagai anak kandung sah negeri ini. Seperti kutipan pidato Bung karno pada HUT Proklamasi 1964 dengan lantang mengatakan “Firman Tuhan inilah gitaku, Firman Tuhan inilah harus menjadi Gitamu : “Innallaaha laa yu ghoiyiru ma bikaumin, hatta yu ghoyyiru maa biamfusihim”. Tuhan tidak merobah nasibnya sesuatu bangsa sebelum bangsa itu merobah nasibnya. Jayalah Pancasila. Sejahtera rakyatnya. wallahu a’lam.
(Ute Nurul Akbar, pernah sekolah di HML)
Makassar, 5 Juni 2017