Dunia Maya Ini Penuh Pertengkaran

reportasependidikan.com – Ada berita bola, Arsenal dikalahkan Monaco. Beritanya lurus tentang hasil pertandingan. Komentar di bawahnya kemana-mana. Saling maki, saling hina, yang kadang sudah tidak relevan lagi. Liga Spanyol dibawa-bawa, Messi dan Ronaldo dibawa-bawa. Padahal itu kan berita Arsenal vs Monaco?

Ada berita tentang peresmian mall terbesar di Indonesia (misalnya). Lurus beritanya hanya soal peresmian. Komentar di bawahnya entah kenapa malah ada yang sibuk berantem. Bilang bukan mall terbesar, disahut ini, itu, lagi-lagi jika sudah panjang saling komentar, muncul makian, kata-kata “tolol”, “bodoh”, “sekolah di mana sih?” tidak ketinggalan. Aduh, kenapa jadi begini? Apakah yang komentar bertengkar ini adalah yang punya mall terbesar tadi? Anaknya? Kerabatnya? Jadi harus mengotot sekali?

Pertengkaran paling epic ketika pemilu kemarin. Saksikanlah, banyak teman baik jadi musuhan. Teman sekolah, kantor, jadi tidak saling menyapa. Hanya karena berantem membaca postingan siapa dukung siapa. Amboi, kalau kita itu adalah sanak famili dari jagoan pilpres, masih masuk akal. Atau kalau kita ini dijanjikan posisi menteri, atau proyek, masih masuk akal juga. Realitanya? Kita bukan siapa-siapa mereka. Malah besok-lusa, kita justeru kecewa berat karena ternyata tidak seperti yang kita bela habis-habisan.

Dunia maya ini penuh pertengkaran.
Di kolom komentar berita, di forum-forum, di media sosial, facebook, twitter, selalu saja ada yang tersulut pantatnya, kemudian komentar tersinggung. Bahkan di sebuah postingan yang sangat sederhana–tetap gatal komentar tidak terima. Apa mau dikata, usia internet itu masih muda sekali di Indonesia; juga penggunanya, rata-rata masih balita (di bawah lima tahun) berinteraksi menggunakan internet. Iya, saya tahu, ada yang akan mengaku sudah 10 tahun internetan, tapi selama apapun itu, tetap saja masih usia kanak-kanak, remaja pun belum, dewasa jauh. Jadi begitulah, masih belum mengerti mana yang baik, mana yang tidak. Persis kanak-kanak.

BACA JUGA:  Guru Dapat Jadi "Malaikat" Bagi Muridnya

Apakah semua harus dikomentari? Apakah semua harus diposting? Apakah semua harus diumumkan ke dunia maya? Seiring semakin lamanya menggunakan internet, belajar dari kesalahan-kesalahan, melewati pertengkaran, membaca lagi postingan 2-3 tahun silam, maka secara natural, kita akan semakin dewasa, mulai paham.

Tidak sedikit yang malah manyun membaca profil masa lalunya, malu, kenapa dulu begitu sekali? Aih, tak usah malu, namanya kanak-kanak. Dulu kita masih imut dan lugu. Hingga foto close up (yg sebenarnya narsis dan norak) pun tetap kita posting–dan merasa sudah paling oke sejagat raya.

Ketika masa-masa pendewasan itu belum tiba, maka pahamilah rumus sederhana ini: berikanlah momen kebijaksanaan sebelum kita mengklik tombol posting, atau menekan enter. Apa itu momen kebijaksanaan? Diam sejenak, menghela nafas, baca ulang apa yang telah kita tulis. Pikirkan sekali lagi. Apakah ini penting? Apakah saya memang harus menuliskannya? Apakah ini mendesak sekali? Jika jawabannya tetap iya, silakan klik tombolnya. Jika tidak, maka lebih baik urungkan.

Terakhir, kalau kita memang hendak bertengkar di dunia maya ini, bertengkarlah untuk hal-hal prinsipil. Seperti membela kebenaran, kejujuran, anti korupsi, hal-hal prinsipil yang akan abadi. Sesuatu yang memang layak kita bela dengan harga apapun.

Apakah membela klub bola, mall terbesar, orang, kelompok termasuk prinsipil? Tidak

penulis : Putri
Editor : Adhy Marshal
(26 februari 2015)

Print Friendly, PDF & Email
(Visited 545 times, 1 visits today)

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

You cannot copy content of this page