Ketika Ayah Menangis

reportasependidikan.com – Kenapa setiap kita jauh dari orang tua, kita selalu kangen sama ibu. Kita selalu menyebut namanya. Kita selalu menghadirkan wajahnya dalam setiap pandangan hati. Itu karena ibu lah yang paling sering nanyain kabar kita ketika itu.

Tapi…

Kalau dari ibu, ternyata ayahlah yang selalu mengingatkan ibu supaya nelepon kita saat kabar belum didapat. Mereka was-was jika handphone kita tidak aktif, sedang kabar belum diketahui.

Waktu kecil, ayah sering ajarin kita naik sepeda. Padahal ibu sangat khawatir. Tapi ayah yakin karena kita pasti bisa melakukan sesuatu yang kita sendiri tidak yakin bisa.

Maka begitulah saat kita mengenal pacaran.

Kenapa ayah melarang kita pacaran?

Karena ayah sangat cemburu pada kita. Ayah tidak menginginkan kita menghabiskan masa muda ini dalam kesia-saiaan yang fana. Ayah tidak mau waktu muda kita dihabisi oleh orang lain. Beliau masih sangat menginginkan kita dan menjaga kita sebaik mungkin.

BACA JUGA:  Pancasila, Sekali lagi...

O iya, apakah sahabatku tahu?

Saat kita diwisuda, ayahlah yang pertama kali menepukkan tangannya. Itu karena ayah bangga memiliki kita. Lalu, ibu lah yang pertama kali meneteskan air mata kebahagiaan karena melahirkan seorang anak yang cerdas, secerdas kita. Ada satu tepukkan kebanggaan dari ayah, diiringi dengan 1 tetes air mata kebahagiaan dari ibu.

Saat kita menginginkan sesuatu, lalu ayah tidak memberikan/mengizinkannya kepada kita, sebenarnya hatinya tidak tega ketika menolak permintaan kita. Namun ayah tetap harus tegas dihadapan kita. Dan itu dilakukan demi keberhasilan kita.

Dan saat kita telah bergandengmesra dengan seorang pendamping hidup yang ada di tangan kita, ayah kita adalah orang yang pertama menangis dalam hati, seraya berkata “tugasku telah selesai mendidik dan menjagamu wahai anakku sayang.”

(islampos.com)

Print Friendly, PDF & Email
(Visited 339 times, 1 visits today)

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

You cannot copy content of this page