CERPEN: Karena Hujan Tak Juga Reda

Tiba-tiba saja, mengenalmu serasa terjadi sudah lama sekali… 

Padahal, jika mengikuti aturan kalender, peristiwa itu terjadi beberapa bulan yang lalu. Aku tidak ingat tanggal pastinya. Aku merutuki diri berkali-kali, mengapa lupa mencatatnya, bukankah itu salah satu hari bersejarah?! Tapi tentu bukan salahku, jika hari itu aku belum menyadarinya. 

Namun satu yang jelas kutau, itu tepat terjadi di awal musim penghujan… 

Hari ini juga turun hujan, cukup deras. Sehingga mau tak mau aku harus meminggirkan kendaraan roda duaku di emperan toko, sebagai pilihan yang aman untuk berteduh. Aku tidak membawa mantel, atau benda apapun yang dapat melindungiku dari kebasahan. Padahal biasanya benda itu selalu stand by di balik sadel motor. Kemarin aku sengaja mengeluarkannya dari sana dan memasukkan benda lain yang kupikir lebih penting tanpa mempertimbangkan prakiraan cuaca dan musim bisa saja meleset. Siapa yang menyangka di waktu yang seharusnya musim kemarau telah tiba, hujan masih sering datang, dengan intensitas lebat pula?! Hemmm… 

Motor kuparkir, aku lalu berlari mencari naungan di bawah kanopi. Ahh… Bajuku basah. Tubuhku basah. Dan aku berani bertaruh, riasanku kini pasti tinggal kenangan. 

Kuputuskan menunggu, sampai batas waktu yang diinginkan hujan untuk pergi… 

30 menit berlalu… 

Hujannya tak juga reda. Malah makin meriah ditambah angin kencang yang turut meramaikan beberapa menit yang lalu. Sesekali juga nampak kilatan yang jelas-jelas bukan blitz dari lampu kamera. Langit masih terlihat murung di atas sana, masih tampak tersedu-sedu menggelontorkan tetesannya. Masih redup. Makin redup. Seperti hendak mengawal dan bergabung dengan siapa saja dalam akapela kehampaan. Menjadikan dirinya jeda yang tepat bagi siapapun yang ingin berbicara dengan keheningan dalam kebisingan yang diciptanya. Atau jangan-jangan ia tau, jauh di bawahnya ada seorang manusia yang berharap agar ia jangan berhenti. Agar ia terus menemani. Walau tau semua akan ada akhirnya, tapi memohon agar jadi sedikit lebih lama. Manusia itu aku. 

*** 

“Ini yang Lo maksud ‘lelaki baik’, Lam” dengan nada mengejek, Aline sahabatku membanting sebuah undangan di meja kerjaku. 

“Dapat dari mana, Lin?” 

“Udah deh ya, jangan balik nanya! Telinganya gak lagi kemasukan air, kan? Sampai gak bisa denger tadi gue nanyain apa?” 

“Apa masalahnya, Lin? Hak dia mau milih siapa. Dan ini kantor. Bukan tempat kita nyalah atau ngebenarin pilihan orang!” Tidak biasanya aku menanggapi sindiran Aline dengan kata-kata emosional, tapi hari pengecualian. 

Ada yang membakar kayu dalam hatiku dan membuat panas yang menjalari sel darah hingga sampai ke otakku. Aku paham maksudnya, yang sejak awal memperingatkan. Sebagai sahabat ia jelas tidak mengizinkan lelaki (yang tidak layak, begitu biasa dia menyebutnya) itu masuk ke dalam hidupku. Tapi pertanyaannya, sejak kapan cinta harus meminta izin? Dan, jika memang dibutuhkan, kepada siapa aku harus memintanya? Jika ada, Kawin lari tentu tak akan pernah tercipta sebagai kosakata, jika saja perizinan penting sebagai syarat jatuh cinta. 

“Tapi gue khawatir sama Lo, Lo pasti sedih banget, kan?” Aline terlihat geram, tapi sedetik kemudian berubah. Suaranya melembut, kata-katanya melunak. Dan matanya, aku kenal baik arti sorot mata itu, dia iba. 

“Siapa bilang? Hey ini hidup, bukan fairy tale, Alineku sayang… Kenapa harus sedih melihat orang lain bahagia?” 

Aline melongos, mencibir sarkastik. Feed back yang sempurna. Tentu saja tidak mudah mempercayai Seseorang yg setiap hari mendo’akan pria yang dicintainya agar menjadi jodohnya kelak. Gadis yang menutup mata dan telinga untuk setiap pengalihan pikiran demi mimpi masa depannya bersama lelaki impiannya, bisa semudah itu berujar. Kalau bukan dusta, apa namanya? 

BACA JUGA:  Sekantong Kue di Kursi Bandara

Tapi, dengan caraku aku akan membuktikannya! 

“Aku akan menghadiri undangan itu, Lin. Apapun resikonya” 

“Jangan, Lam. Percaya sama gue, Lo belum siap!” 

“Apa butuh kesiapan, untuk mendo’akan? Kita hanya butuh niat, gak lain…” 

*** 

Dan di sinilah Manusia itu berdiri memeluk tubuh ringkihnya yang kedinginan. Nilam Alysa, Manusia angkuh itu aku, yang demi mempertahankan harga diri. Gengsi selangit. Rela menelan bara Demi menunjukkan bahwa dirinya lebih hebat daripada selembar undangan. 

Rasa sakit yang mendera dada, tak mampu lagi kukabarkan lewat kata-kata, dan disaat cengkraman perih itu kian mencekik, aku kehilangan kemampuan untuk menangis! 

Tiap kali Terpaan hujan terdengar menghantam kanopi. Maka satu demi satu ketakutanku muncul dipermukaan, seakan berlomba untuk menunjukkan betapa lelahnya ia bersembunyi di dasar hati. Bahwa ia telah terengah-engah karena terlalu banyak menenggak Air mata yang sebenarnya tumpah di dalam dada. 

Tapi tiap kali aku hendak tersungkur penuh kekalahan. Tiap kali aku ingin mengakui kelemahan, tiap itu pula pemahaman baik datang; ini bukan sebuah akhir melainkan satu babak baru yang akan kita sambut dengan suka cita. Karena yang lepas saat ini hanyalah sesuatu yang masih semu, bayangan, bukankah bodohnya meratapi ketidaknyataan?! 

Hujan tak juga reda. Aku merasa semakin lama mengenalmu, Ya kamu. Yang dulunya kusebut lelakiku. 

Hujan tak juga reda, genangan air mulai membentuk dimana-mana. “Lo belum siap”nya Aline, yang berdengung berkali-kali di tepi telinga, Melorotkan semangatku. Ini saatnya, aku mulai mendengarkan orang lain. Jadi kuputuskan untuk membatalkan niatan itu. Kurogoh saku tas, kukeluarkan undangan itu, tinta yang membentuk namaku di labelnya mulai meluntur terkena air hujan. Ada sesuatu yang berkecamuk saat jari-jariku menyapu ukiran nama yang juga tercetak di sampulnya. Aku menghitung mundur. Mencoba menekan sesak yang entah disebabkan oleh apa. Seharusnya, sejak awal aku tak perlu konyol seperti ini, bukan?! 

Kemudian, Tanpa ancang-ancang, kulemparkan kertas itu, kubiarkan menyatu dengan kubangan air. Biar hujan menghanyutkannya sesuka hati. Lalu, Detik itu pula do’aku terbang bersama angin… 

Ini menjadi ujung penghujan yang sempurna. Aku berharap, ini hujan yang terakhir. Agar aku tak perlu terjebak dalam nostalgia berjumpa denganmu, setiap kali hujan tiba. 

Semoga bahagia, do’aku di nadimu 

 

(Penulis : Naurah Senja)

Print Friendly, PDF & Email
(Visited 894 times, 1 visits today)

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

You cannot copy content of this page