Ramadhan, Konsumerisme dan Kepedulian Sosial

Marhaban Ramadhan, selamat datang tamu Agung, dimana didalamnya terdapat malam yang paling agung malam seribu bulan. Ramadhan di zaman Rasulullah dan sahabat- sahabatnya tentu berbeda dengan kondisi yang kita hadapi saat ini. Meski esensinya sama yakni berpuasa (dengan segala syarat yang ingin dicapai) tentu sangat berbeda dengan kekinian kita.

Kapitalisme yang merangsek tanpa kita sadari dalam semua sendi kehidupan kita sangat berperan dalam menciptakan godaan dan gangguan “berramadhan”. Atas nama agama konsumerisme dibangun seolah itu menjadi kebutuhan yang wajib dipenuhi oleh umat Islam yang nota bene menjadi sasaran empuk menjadi pasar. Disinilah salah satu bahaya dari Kapitalisme. yaitu selubung ketidak sadaran yang kita alami atau dalam istilah Marx disebut alienasi.

Modifikasi kondisi dan produk yang seolah- olah syar’i pun memaksa nalar yang setengah- setengah untuk memerangi nafsu belanja kita. Dengan dalih mengikuti trend syar’i, perempuan muslim Indonesia dipaksa tanpa sadar untuk membeli produk- produk yang secara logik tentu belum terlalu dibutuhkan. Terlebih dengan iming- iming potongan harga yang juga merupakan penumpulan nalar kita.

Trend model atau menu apapun namanya sengaja dibuat oleh para Kapitalis untuk membatasi masa penggunaan barang yang menjadi hak otonom kita dengan cara menciptakan klaim “sudah ketinggalan” agar terjadi perputaran modal/ barang yang terus menerus mereka produksi. Hal ini sangat wajar mereka lakukan mengingat bentuk paling mutakhir sistem ekonomi kapitalis yang menempatkan ‘konsumsi’ sebagai titik sentral kehidupan dalam tatanan sosial masyarakat kapanpun dan di manapun.

Konsumerisme tentu adalah suatu sikap yang bertolak belakang dengan substansi diwajibkannya puasa agar seseorang mampu mengendalikan hawa nafsu (konsumtif), meningkatkan kepedulian terhadap sesama dan lebih mendekatkan diri kepada Sang Pencipta sehingga menjadi insan yang bertakwa.

Umat Islam, tiap memasuki Ramadhan selalu diposisikan sebagai “konsumen potensial” untuk meraup keuntungan bisnis. Sensibilitas keagamaan bagi para pebisnis menjadi senjata yang ampuh untuk mendongkrak tingkat konsumsi dan belanja masyarakat dibanding hari-hari biasa. Terlebih Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk muslim terbanyak di dunia.

Fenomena ini tentu saja dapat dengan mudah ditemukan. Lihat di sekitar kita sekarang ini. Berbagai macam barang-barang konsumsi diproduksi dan ditawarkan spesial menyambut bulan suci Ramadhan. Mulai dari sandang, pangan, hingga kartu telepon seluler sekalipun. Termasuk hiburan seperti sinetron, musik, humor, dan ceramah pun sudah mulai tayang atas nama bulan suci Ramadhan. Kemudian muncullah istilah sinetron religi atau album religi para penyanyi maupun grup band yang selalu ditunggu para penggemarnya.

Melalui iklan di media cetak maupun elektronik berbagai komoditas yang diproduksi dengan sensibilitas keagamaan dilempar ke pasar. Tentu saja selama bulan puasa produk yang dibuat sudah dibalut dengan ‘pakaian’ bulan suci Ramadhan, Islam. Dan yang tidak kalah penting, sadar maupun tidak sadar, sesungguhnya di situlah terjadi proses penanaman semacam pembenaran atau ‘Islamisasi’ atas perilaku konsumtif umat Islam selama bulan puasa.

Upaya kapitalisasi Islam atau penaklukan semangat beribadah oleh pasar, dunia bisnis, atau kapitalisme itu sendiri tidak hanya berimbas pada wilayah itu. tapi jauh menembus wilayah sosial lainnya.

Proyek penaklukan semangat keagamaan oleh pasar tersebut tentu saja sudah berlangsung sejak jauh-jauh hari sebelum bulan Ramadhan datang. Kemudian dipusatkan pada Ramadhan selama satu bulan penuh sampai lebaran. Bahkan lebaran pun bisa menjadi semacam ‘festival konsumsi’ dimana pergantian mode dan tata busana dimanfaatkan industri untuk kepentingan bisnis semata.

BACA JUGA:  Upacara Bendera Peringatan HUT RI ke-79 di SDN Kompleks Sudirman

Sangat memprihatinkan ketika semangat atau mungkin juga kebangkitan keagamaan harus takluk pada pentas konsumsi yang massiv. Yang melahirkan keperihan yang juga massiv pada saudara kita yang tidak memiliki kemampuan ekonomis. Maka lahirlah kondisi yang justru menyakitkan bagi kaum miskin. Sementara disisi lain kaum yang memiliki kesempatan dan kemampuan ekonomis secara membabi buta memamerkan secara terang- terangan. Kita dibutakan dan dibuat lupa bahwa ada ikatan sosial dan keyakinan yang seharusnya kita jaga. Esensi puasa yang mengajarkan tentang kolektivisme dibenamkan oleh sikap individualis yang di”fatwakan” oleh kapitalisme.

Perkembangan kapitalisme global membuat, bahkan memaksa, momen bulan puasa tak lebih hanya menjadi komoditas yang terus menerus diproduksi demi sebuah keuntungan bisnis. Umat Islam diarahkan pada suatu kondisi dimana seolah-olah ‘hasrat’ mengkonsumsi di bulan Ramadhan selalu dilegitimasi oleh ‘kebutuhan’ rohaniah mereka.

Sepertinya ibadah puasa nantinya kurang sempurna jika tidak mengkonsumsi makanan serta minuman tertentu atau segala yang disodorkan oleh media dan iklan dengan mengatasnamakan agama. Berbagai kegiatan bisnis diselenggarakan di bulan puasa sekaligus menciptakan kebutuhan yang bukan lagi esensial tapi artifisial.

Islam menempatkan ibadah puasa pada posisi yang istimewa. Puasa merupakan ibadah yang memadukan keikhlasan hubungan antara manusia dengan Allah SWT (hablum minallah) dan keihklasan hubungan antara manusia dengan manusia (hablum minannas). Secara pribadi puasa merupakan media mendekatkan diri kepada Allah SWT. Bahkan, karena sangat pribadi Allah SWT sendirilah yang akan membalasnya. Dalam sebuah hadits qudsi disebutkan, “Semua amal perbuatan Bani Adam menyangkut dirinya pribadi kecuali puasa. Sesungguhnya puasa itu untuk-Ku, dan karena itu Akulah yang langsung membalasnya.”

Sementara dari sisi sosial puasa mengajarkan untuk lebih peduli kepada sesama. Memperbanyak amal sholeh dan bukan menumpuk nafsu konsumtif sendiri. Puasa hendak mengajarkan bagaimana mengendalikan diri dalam kehidupan bermasyarakat. Oleh sebab itu, Islam pun menegaskan kepedulian sosial ini dengan kewajiban mengeluarkan zakat fitrah di akhir Ramadhan.

Melalui dua dimensi itulah puasa bertujuan membentuk pribadi-pribadi yang bertakwa. Takwa adalah derajat paling tinggi di sisi Allah SWT dan mustahil dicapai melalui pemenuhan nafsu pribadi yang bersifat material dan simbolik. Sebab ketakwaan seseorang tidak dinilai dari simbol-simbol artifisial yang menempel di tubuh.

Puasa ingin mengajak umat Islam untuk membebaskan diri dari pemenuhan aneka kebutuhan simbolik. Termasuk membebaskan diri dari belenggu konsumerisme. Ramadhan telah datang Semoga kita bisa menyambutnya dengan penuh semangat dan menjadikannya sebagai momentum kebangkitan keagamaan yang tidak berhenti pada level simbolik semata.

Akhirul kalam, penulis mencoba mengajak pembaca untuk kembali meresapi esensi dari surah al-maun, yang mengajak kita untuk lebih mengasah kepedulian sosial kita ketimbang tenggelam pada sikap individualis. Amin.

Marhaban ya Ramadhan…

Penulis : Ute Nurul Akbar (Penggiat cultural studies)
Print Friendly, PDF & Email
(Visited 353 times, 1 visits today)

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

You cannot copy content of this page