
reportasependidikan.com – Al kisah, di suatu desa ada seorang ibu yang sudah tua hidup berdua dengan anak satu-satunya. Suaminya sudah lama meninggal karena sakit. Sang ibu seringkali merasa sedih memikirkan anak satu-satunya itu.
Si anak, kebetulan punya tabiat yang sangat buruk. Ia amat suka mencuri, berjudi, mengadu ayam, dan seabrek perbuatan jahat lainnya. Hal itu membuat si ibu sering menangis meratapi nasibnya yang malang. Meski demikian, si ibu tua itu selalu berdoa kepada Allah.
“Ya Allah, tolong Engkau sadarkan anakku yang kusayangi ini, supaya ia tidak berbuat dosa lebih banyak lagi. Aku sudah tua dan aku ingin menyaksikan dia bertaubat, sebelum aku mati.”
Namun, semakin lama si anak semakin larut dengan perbuatan jahatnya. Sudah sangat sering ia keluar masuk bui karena kejahatan dan kriminalitas yang ia lakukan.
Suatu hari, ia kembali mencuri di rumah seorang penduduk desa. Namun, malang nasibnya. Akhirnya ia tertangkap oleh penduduk yang kebetulan lewat. Dengan kasar ia digiring ke hadapan Raja untuk diadili sesuai dengan hukum yang berlaku. Setelah ditimbang berdasarkan intensitasnya mencuri, tak terhitung lagi berapa kali ia merampok, tanpa ampun lagi si anak bukan saja dujatuhi hukuman potong tangan tetapi dijatuhi hukuman pancung. Itu hukuman yang lazim di kerajaan itu.
Pengumuman hukuman itu disebarkan ke seluruh desa. Hukuman pancung akan dilakukan keesokan harinya, di depan rakyat desa dan kerajaan, tepat pada lonceng hukuman berdentang menandakan pukul enam pagi. Berita hukuman itu sampai juga ke telinga sang ibu. Dia menangis, meratapi anak yang sangat dikasihinya. Sembari berlutut dia berdoa kepada Allah.
“Ya Allah, ampunilah anak hamba. Biarlah hamba-Mu yang sudah tua renta ini yang menanggung dosa dan kesalahannya.”
Dengan tertatuh-tatih dia mendatangi raja dan memohon supaya anaknya dibebaskan, tapi keputusan sudah bulat, si anak harus tetap menjalani hukuman. Dengan hati hancur si Ibu kembali kerumah. Tidak berhenti ia berdoa supaya anaknya diampuni. Karena kelelahan, dia tertidur dan mengalami mimpi-mimpi yang menakjubkan.
Keesokan harinya, di tempat yang sudah ditentukan, rakyat berbondong-bondong untuk menyaksikan hukuman pancung tersebut. Algojo sudah siap dengan pancungnya, dan si Anak tadi sudah pasrah menantikan saat ajal menjemputnya. Terbayang di mata wajah ibunya yang sudah tua, tanpa terasa dia menangis menyesali perbuatannya.
Detik-detik yang dinantikan akhirnya tiba. Sampai waktu yang ditentukan, lonceng hukuman belum juga berdentang. Suasana mulai berisik. Sudah lima menit dari waktunya. Akhirnya didatangi petugas yang menyembunyikan lonceng. Dia juga keheranan, karena sudah sedari tadi ia menarik lonceng, tapi suara dentangnya tidak ada. Ketika mereka sedang terheran-heran, tiba-tiba dari tali petugas pembunyi lonceng itu mengalirlah darah. Darah tersebut datangnya dari atas tempat lonceng diikat.
Dengan berdebar-debar, seluruh rakyat menantikan saat beberapa orang nauk ke atas dan menyelidiki sumber darah itu.
Ternyata di dalam lonceng besar itu ditemui tubuh si Ibu tua dengan kepala hancur berlumuran darah. Dia memeluk bandul dalam lonceng yang mengakibatkan lonceng tidak berbunyi, sebagai gantinya kepalanya yang terbentur ke dinding lonceng. Seluruh orang yang menyaksikan kejadian itu tertunduk dan meneteskan air mata. Sementara si anak meraung-raung memeluk tubuh ibunya yang sudah diturunkan. Dia menyesali perbuatannya yang selalu menyusahkan ibunya. Ternyata, malam sebelumnya si ibu dengan susah payah memanjat ke atas dan mengikatkan dirinya di lonceng tersebut serta memeluk besi di dalam lonceng untuk menghindarkan hukuman pancung untuk anaknya. []
Sumber: http://rubik.okezone.com/read/21274/renungan-cinta-seorang-ibu-tua-pada-anaknya