reportasependidikan.com – Widia salah satu pengajar di sekolah luar biasa di kawasan Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Dengan perlahan tapi pasti, ia menekan tombol-tombol keyboard laptop pribadinya siang itu. Sambil mentik, perempuan berusia 30-tahun itu sesekali mendekatkan telinganya yang tertutup hijab pada speaker laptopnya.
Saat tombol ditekan, akan terdengar suara untuk memberitahukan tombol apa yang ia tekan.
Keterbatasan pada indera penglihatan tak menghentikan langkahnya menjadi seorang guru ilmu komputer. Dahulu, ia melihat seperti layaknya orang normal. Namun, benturan yang terjadi sewaktu dalam kandungan menyebabkannya perlahan kehilangan daya lihat.
“Dulu masih lihat bentuk, misalnya siang, malam. Sebenarnya proses. Dulunya saya melihat normal. Karena bayi itu saya jatuh. Ketahuannya di usia 9 bulan. Saya dulu itu jalannya lebih lambat. Ketahuan benar-benar netra itu usia dua tahun. Enggak bisa menunjuk barang yang saya tuju,” kata Widia.
Sempat Ditolak Masuk SMP, SMA, dan Kuliah karena Tak Bisa Melihat
“Saya tinggal di Yogjakarta, lalu dioper ke Jakarta untuk pengobatan. Akhirnya saya ke Jakarta pindah, tervonis karena saraf. Akibat benturan. Dulu masih bisa baca, pakai kacamata. Perlahan, mulai tahun 1999 sudah susah lihat. Paling hanya huruf besar-besar,” tutur Widia.
Ia sempat ditolak masuk sekolah sampai di Jakarta, karena alasan keterbatasan penglihatan yang dideritanya. “Sempat ditolak masuk SMP umum, SMA, kuliah juga seperti itu, karena saya tuna netra. Sempat down. Karena orangtua saya mengajarkan pendidikan nomor satu. Suatu saat nanti harus jadi orang. Harus sekolah,” kata Widia.
Ia kuliah di salah satu perguruan tinggi Islam di Universitas Attahiriyah mengambil jurusan Komunikasi Islam kawasan Tebet, Jakarta Selatan menerimanya.
Jadi Guru Ingin Berbagi Ilmu
Ia memilih menjadi guru, karena ia ingin berbagi ilmu kepada anak-anak. Mengawali karir sebagai guru honorer, Widia mencoba ikut serta dalam tes Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) beberapa kali. Namun, berkali-kali ia harus menerima kegagalan.
“Awalnya guru honorer. Berkali-kali ikut tes di Depag, Depsos. Untuk Pemda. Dari tahun pertama kali dulu-dulu enggak pernah belajar. Karena enggak minat. Saya nekat,” papar dia. Saat ujian, Widia mengaku menyediakan penutur sendiri, untuk membacakan soal.
“Kalau soal itu, semua dibacain. Tes braille enggak ada. Sebelumnya koordinasi sama panitia. Harus cari pembaca sendiri. Bedanya kalau dibacakan di depan panitia. Mau menyontek susahnya,” tutur dia seraya tertawa. “Jam 2 malam bangun sampai subuh. Belajar soal dari internet,” sambung dia. Hingga akhirnya pada 2016 lalu, dia berhasil lolos tes CPNS. []
Sumber: Antara.com