reportasependidikan.com — Pendaftaran Peserta Didik Baru (PPDB) untuk tingkat SMA tahun ini agak berbeda dibanding tahun-tahun sebelumnya.
Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Sulsel Irman Yasin Limpo menjelaskan, sesuai Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No 17/2017, PPBD tahun ini menitikberatkan sistem zonasi. Artinya, sekolah yang membuka pendaftaran siswa baru akan memprioritaskan calon siswa yang tinggal dekat dengan lokasi sekolah.
“Secara umum mekanisme PPBD dibagi dua jalur, yaitu jalur zonasi dengan alokasi sebanyak 90 persen dan jalur non-zonasi dengan kuota 10 persen,” jelas Irman YL, Selasa (29/5).
Pejabat yang akrab disapa None ini melanjutkan, sistem zonasi dibagi lagi ke dalam tiga jalur. Yakni 30 persen akademik, 20 persen afirmasi dan 50 persen domisili. Sementara untuk jalur non-zonasi terbagi dalam dua jalur lain. Yaitu jalur prestasi 5 persen dan jalur khusus 5 persen.
“Tapi sistem zonasi ini hanya berlaku bagi PPDB SMA, tidak untuk SMK. Jadi, untuk tiga jalur pendaftaran baik akademik, afirmasi, dan domisili dalam proses penerimaan siswa selalu menitikberatkan radius tempat tinggal siswa dengan lokasi sekolah yang didaftar,” ungkapnya.
PPDB tahun ini tidak lagi mengakomodir jalur kemitraan. Alasannya, karena jalur ini berpotensi menimbulkan kecemburuan sosial. Berdasarkan pengalaman tahun lalu, jalur ini hanya menerima calon peserta yang memiliki rekomendasi pejabat dari berbagai instansi yang dinilai berjasa ikut membangun sekolah.
Jadi, sistem kelulusan siswa tahun ini ditentukan selain dari nilai Ujian Nasional (UN), juga berdasarkan kalkulasi jarak tempat tinggal calon siswa dengan sekolah tempatnya mendaftar.
Tahun ini, Disdik juga secara tegas membatasi jumlah siswa dalam setiap kelas. “Satu kelas maksimal hanya boleh diisi 35 siswa. Tidak boleh lebih,” tandasnya.
Untuk kuota, secara umum sudah terpenuhi. Bahkan jika dikalkulasi se-Sulsel, jumlah kuota yang ada sudah melebihi dari jumlah lulusan siswa SMP.
Hanya saja, dia berharap orang tua siswa tak bertumpu di sekolah negeri. Jatah sekolah negeri terbatas, apalagi SMA.
Setidaknya 157.736 atau 4.507 rombongan belajar lulusan SMP/MTs tahun 2017/2018 yang bakal masuk SMA/SMK/sederajat se-Sulsel. Sementara daya tampungnya 183.890 atau 5.254 rombongan belajar.
“Sisanya ada SMK negeri serta sekolah swasta. Jika semua tersebar, kuota mencukupi. Apalagi Makassar, kita kelebihan 136 rombel. Kalau Gowa kita kekurangan 22 rombel,” tambahnya.
Adapun persentase daya tampung PPDB, yaitu SMA Negeri sebanyak 79.930 siswa atau 49 persen, SMK negeri 54.115 atau 28 persen, dan swasta 26.691 atau 23 persen.
Sebaran sekolah di Sulsel tak merata di semua kecamatan. Misalnya saja di Makassar, ada enam SMA di wilayah Kecamatan Tamalate. Sementara di Kecamatan Ujung Pandang dan Kecamatan Makassar, sama sekali tak ada sekolah.
Sekretaris Disdik Sulsel Setiawan Aswad mengatakan, pelaksanaan PPDB akan berlangsung usai Lebaran Idul Fitri atau akhir Juni. Sebelum sebelum waktu itu tiba, akan diporsir untuk sosialisasi.
Apresiasi Ketua IGI
Dihubungi terpisah, Ketua Ikatan Guru Indonesia (IGI) Ramli Rahim cukup mengapresiasi sistem PPDB tahun ini yang menitikberatkan penerimaan siswa pada zonasi. Dia mengatakan metode itu sudah cukup baik untuk diterapkan. Alasannya, sistem zonasi itu bisa menghapus kasta-kasta sekolah.
“Sistem zonasi menurut saya sudah baik, zonasi menghapus kasta-kasta sekolah,” jelasnya.
Kasta sekolah yang dimaksudkan adalah, selama ini masyarakat memberi klasifikasi terhadap sekolah. Ada yang favorit dan tidak. Berdasarkan pengalaman tahun-tahun sebelumnya, memasuki jadwal penerimaan siswa baru, lebih banyak yang mendaftar di sekolah favorit.
Ramli menambahkan, secara umum dirinya termasuk orang yang mendorong sistem zonasi sekolah. Sudah begitu lama sekolah-sekolah diarahkan dan dibentuk menjadi kasta-kasta sekolah, dan ini tidak baik buat masa depan bangsa ini.
”Misalnya di Makassar, siapapun yang sekolah di SMA 17 dianggap anak pintar. Sementara SMA 19, SMA 8 dan beberapa sekolah dianggap sebagai sekolah anak nakal. Stigma ini membuat pendidikan menjadi tidak baik,” terangnya.
Guru-guru pun, kata dia, merasa hebat karena siswanya bisa lulus di perguruan tinggi atau sekolah baik. Padahal bukan mereka yang hebat, melainkan siswanya adalah perasan santan pertama. Tanpa diajar pun mereka sudah pintar.
”Yang lebih parah lagi, guru-guru terbaik ditempatkan di sekolah terbaik yang sebenarnya tingkat kesulitan mengajar dan mendidiknya jauh lebih ringan. Seharusnya guru-guru terbaik ditugaskan di tempat berat. Tempat di mana siswanya tidak pintar, sedikit nakal dan susah diatur,” jelasnya.
Kemudian, lanjutnya, orang tua yang ingin disebut hebat melakukan segala macam cara agar anaknya lulus di sekolah yang katanya bagus. Jadilah ada yang lewat jendela, bahkan lewat atap.
“Jadi sistem zonasi sekolah telah menghapus semua itu,” tandasnya.
Kelemahannya adalah guru dan fasilitas tidak merata, menurutnya, itulah tugas pemerintah untuk membuat kemampuan guru menjadi merata dan fasilitas sekolah sama baiknya. (**)