Jenderal Soedirman, Dari Guru Menjadi Panglima Besar

reportasependidikan.com – Berbicara mengenai Tentara Nasional Indonesia yang berulang tahun hari ini, sulit kiranya memisahkan dari sosok Jenderal Soedirman. Dialah Panglima TNI pertama.

Soedirman terpilih karena terkenal sebagai komandan tentara yang bijak dan bersikap kebapakan. Sikap ini sudah ditunjukkan jauh sebelum ia menjadi tentara.

Setamat pendidikan guru di HK Mohammadiyah Solo tahun 1934, ia menjadi Kepala SD Mohammadiyah di Cilacap sebelum Jepang menyerbu Indonesia.

Sebagai kepala sekolah, ia bersikap terbuka, mau mendengarkan pendapat orang lain, dan selalu siap memberi jalan pemecahan terhadap setiap masalah yang timbul di kalangan para guru.

Majalah Forum Keadilan edisi 9 Januari 2O00 menyebutkan ia menjadi tenaga pengajar di sekolah menengah Mohammadiyah Cilacap, di mana ia juga aktif di organisasi Kepanduan Islam Hisbul Wathon (HW).

Sudah sejak belia keteguhan hati Soedirman terpancar.

Sualu malam di tengah dinginnya udara malam pegunungan Dieng, sekelompok pemuda Kepanduan Hisbul Wathon sedang berkemah.

Karena udara terlampau menusuk tulang, banyak rekan Soedirman yang meninggalkan perkemahan.

Tetapi sebagai pemimpin kepanduan, Soedirman bertahan sampai pagi.

Jenderal Soedirman, Sang Guru yang Jadi Panglima Besar: Jenderal yang Tak Sudi Dilecehkan
Jenderal Soedirman, Sang Guru yang Jadi Panglima Besar: Jenderal yang Tak Sudi Dilecehkan (Intisari-online.com)

Dari Guru ke Jenderal

Karier militer Soedirman diawali ketika ia mengikuti latihan perwira tentara Pembela Tanah Air (PETA) di Bogor.

Selesai mengikuti latihan, ia diangkat menjadi Daidancho (Komandan Daidan, setara batalyon) di Banyumas.

Beberapa bulan setelah Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945, pasukan Inggris mendarat di Indonesia atas nama Sekutu.

Mereka bertugas mengurus tawanan perang yang disekap Jepang, dan melucuti senjata tentara Jepang yang sudah kalah perang.

Di berbagai daerah, mereka yang sedang menunggu diangkut pulang ke Jepang itu diminta menyerahkan senjatanya kepada tentara Indonesia.

Tetapi ada yang tidak rela menyerahkan senjata inventaris negara mereka.

Permintaan lalu berubah menjadi perebutan dengan paksa, hingga menelan banyak korban di kedua belah pihak.

BACA JUGA:  Kisah Jatuh-Bangun Soichiro Honda, Pendiri Honda Motors

Berbeda dengan Banyumas. Tak ada pertumpahan darah dalam proses penyerahan senjata.

Itu berkat kearifan mantan Daidancho Soedirman dalam berunding. la juga memberikan jaminan perlindungan kepada bekas tentara Jepang.

“Para komandan TKR berbagai daerah yang hadir dalam rapat pimpinan di Markas Tinggi Tentara Keamanan Rakyat di Yogyakarta, kebanyakan dari Jawa Tengah,” tulis Abdul Haris Nasution dalam “Tjatatan-tjatatan Sekitar Politik Militer di Indonesia” (Intisari Juni 1964).

“Dari Jawa Timur hanya beberapa, karena sebagian besar sedang bertempur mempertahankan wilayah melawan Belanda.

Dari Jawa Barat sebagian besar tidak dapat hadir, sedangkan dari Sumatera hanya hadir seorang kolonel yang mewakili enam divisi TKR.”

Tapi bukan karena dominasi komandan TKR dari Jawa itu Pak Dirman terpilih dengan suara terbanyak.

Di kalangan para perwira tentara, Pak Dirman memang mempunyai kelebihan: teguh hati, lemah lembut tutur katanya, dan bersikap kebapakan mengayomi para bawahan.

Meski relatif masih muda, baru 29 tahun, ia pemimpin yang cepat mengambil keputusan mantap, lalu tegas bertindak.

Sebagian orang mengatakan Soedirman lahir 1912 di Bodaskarangjati, Rembang, tetapi sumber lain menyebutkan ia lahir di Purbalingga, 7 Februari tahun yang sama.

Yang jelas prestasinya mempersatukan pelbagai laskar ke dalam tubuh ketentaraan dipandang bukan prestasi sederhana.

Artikel ini pernah dimuat di Intisari edisi Oktober 2000 dengan judul “Soedirman Sang Guru yang Jadi Panglima”.

Print Friendly, PDF & Email
(Visited 707 times, 1 visits today)

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

You cannot copy content of this page